Pengertian Paradigma dalam arti luas
Paradigma
secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu
permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma
pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan
cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam.
Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi
normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat
ilmiah’ dalam disiplin tertentu.
Robert
Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai
gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian.
Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan
normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap
kajian-kajian ilmiah.
lambang Indonesia |
George
Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai gambaran
fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan
mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus
dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang
diperoleh.
Paradigma
ialah unit konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk
melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu
dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para ilmuwan dan
teoritisi intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya
mereka agar terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan tidak beraturan.
Menurut Kuhn,
tidak ada sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa
sekurang-kurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implicit
yang berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi,
evaluasi dan bersikap kritis. Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis,
sebenarnya paradigma tidak menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum
intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, paradigma juga mungkin
diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial yang lain. Sebenarnya Kuhn
mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari dunia sejarah dan
sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam yang pada
waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu,
dulunya hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan
Untuk mencapai
tujuan hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara Indonesia melaksanakan
pembangunan nasional. Hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan
harkat dan martabatnya. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai
paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek
pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai pada
sila-sila Pancasila.
Hal ini sesuai dengan kenyataan
objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara
merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan
apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara
termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu
dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila
adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut
mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus
sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan
nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang
meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat,
pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu
mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga
negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek
politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus
dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah
sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik
Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan selanjutnya adalah
sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan,
dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga
negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut
sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila
sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila
bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan
dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya
dapat dilihat secara berurutan-terbalik. Penerapan dan pelaksanaan keadilan
sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi
dalam kehidupan sehari-hari. Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana
dalam pengambilan keputusan.
Melaksanakan keadilan sosial dan
penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan.
Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil
dan beradab. Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi
tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil
society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan
golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan
demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat
informasi adalah:
1.
Nilai toleransi
2.
Nilai transparansi hukum dan
kelembagaan
3.
Nilai kejujuran dan komitmen (tindakan
sesuai dengan kata)
4.
Bermoral berdasarkan konsensus
(Fukuyama dalam Astrid: 2000:3)
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan
politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan
pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila sehingga,
praktik-praktik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi
menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba harus segera diakhiri.
Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila
dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada
nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan
pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk
pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar
pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan
individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian
juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui
kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan
manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan
menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem
ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga
tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi
lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih
mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini
menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi
atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan,
politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan
rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan
bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang
lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan
akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah
Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan
peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.
Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial Budaya
Dalam pembangunan pengembangan aspek
sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia
sebagai makhlukyang berbudaya. Pancasila juga merupakan sumber normatif bagi
peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya.
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia
secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasarkan sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
menjadi human. Berdasarkan sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya
komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya
komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak
asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah
tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan
pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional
(Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila
Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup
menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya
nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan,
sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa
ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang
tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung
tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul
kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang
menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk
mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan
melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai
budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial
itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia
dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat
semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak
dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai
dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu)
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah
diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,
yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi,
yaitu:
(1) Adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) Adanya susunan ketatanegaraan negara yang
mendasar, dan
(3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di
dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari
UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang
demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan
dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis
seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila
Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila
sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.
Persatuan Indonesia,
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum
yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila. Artinya,
substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk
kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat). Pancasila Sebagai
Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu
dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi
cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional.
Indonesia adalah Negara yang
majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis,
bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai
dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang
bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti
semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran
yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim. Paradigma
toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1.
Semua umat Islam, meskipun terdiri
dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2.
Hubungan antara sesama anggota
komunitas Islam dan antara komunitas
3.
Islam dan komunitas lain didasarkan
atas prinsip-prinsi:
·
Bertentangga yang baik
·
Saling membantu dalam menghadapi
musuh bersama
·
Membela mereka yang teraniaya
·
Saling menasehati
·
Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1.
Persamaan hak dan kewajiban antara
sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2.
Pemupukan semangat persahabatan dan
saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu
dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis
dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai
masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki
heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat
bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila
kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate
value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh
dari kompromi. Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang
sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang
mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga
kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara,
“Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara,
merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna
memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini
sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk
mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan
akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas
indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya.
No comments:
Write komentar